Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Rahasia Terpendam

        
       Hujan dengan derasnya mengguyur kota teluk ini, seakan menunjukan kuasannya. Zai, anak perempuan berusia enam tahun dan  tinggal di kompleks perumahan dosen Universitas Tadulako, merupakan kompleks perumahan yang  bertempat di dataran tinggi kota palu, bersama kedua orang tuanya dan Tante Mai,tante dari ibunya. Dari rumah gadis mungil ini nampak keindahan terpendam dari kota Teluk (palu). Gadis itu nampak menggigil menahan dingin yang mulai merasuk, menembus celah-celah kecil pakaian yang basah dan menggigit kulit lembutnya. Di sudut teras rumah, Zai duduk bersedekap dada sembari memandangi orang-orang yang datang dengan pakaian serba hitam. Dan terlukis lengkungan kesedihan diwajah mereka.

            “Zai … dari mana kamu, Sayang? Kenapa basah kuyup kayak gini?” tanya Tante Mai, mendatanginya.
            Kepala Zai menengadah ke atas memperhatikan wajah tantenya yang berada tepat dihadapannya. Sembab. “Hum … baru pulang dari rumahnya Vee, Tante. Terus Zainya kehujanan jadinya basah kuyup deh. Tadi Zai mau masuk tapi banyak orang di pintu, jadi Zai tidak bisa masuk deh…. Tante … kenapa banyak orang di rumah yah?” sambil menengok ke arah pintu masuk.
            Tess… setetes air jatuh membasai wajah Tante Mai yang sembab.
            “Tante kenapa?” tanya Zai penasaran.
            Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Tante Mia, melainnkan hanya ditariknya tangan Zai yang kemudian disusul dengan menggendongnya. Zai hanya mengikuti instruksi tubuh dari tante tercintanya itu. Tubuh Zai dibawanya ke kamar untuk mengganti baju yang telah basah kuyup.
            “Zai mau pake baju apa?” tanya tentenya menawarkan, diangkatnya tangan yang telah menjadi gantungan baju, dilengkapi dengan bermacam pilihan warna dan model.
            “Zai mau pake yang warna merah muda.” Telunjuk Zai mengarah ke salah satu pakaian yang berada di genggaman tantenya.
            Gaun berwarna merah muda, dengan sedikit pernik bunga pada pinggir lengannya, membuat gaun itu semakin indah dikenakan. Tertambah lagi Zai adalah gadis mungil yang cantik juga imut, serta memiliki kulit yang berwarna kuning  langsat muda. Dengan rambut yang sengaja dikepang dua, menambah keanggunan pada gadis ini.
            “Zai….” panggil Ian. Suara itu seketika muncul menghentak jantung Zai. Ketika Zai baru melangkahkan kakinya keluar kamar. Dilemparkannya senyumnya kearah Ian.
            Seketika mata Zai tertuju pada kerumunan orang yang berada di depan pintu dapurnya sembari menggotong seseorang yang tertutupi dengan kain jarik. DUP… jantung Zai seakan tidak memiliki irama untuk berdetak.
            Segala pertanyaan kini menggelayut manis dalam pikiran kecilnya.
            “Main yuk!”seru Ian.
Sejenak di dujukannya pandangan Zai kearak Ian,sembari mengganggukkan kepalanya tanda setuju. Dan langsung kembali membelok kearah rerumunan orang yang menarik perhatiannya.
            “Tapi tunggu dulu, yahsa mau bacari ibuku dulu” Zai menyunggingkan sedikit senyumnya ke arah Ian.
            “Oke!”Sembari menunjukkan jempol kanannya kearah Zai,dan sekali angguk.
            Di telusurinya satu-persatu ruangan yang ada dirumahnya. Dikamar Ibu. Tidak ada. Kamar mandi. Tidak ada. Ruang belajar. Tidak ada. Ruang makan. Tidak ada. Halaman belakang. Tidak ada.
“Kok gak ada yah…?”sembari menggaruk-garuk kepalanya yang sesunggguhnya tak terasa gatal.
            Di mana ibu? Dimana ayah? Kenapa banyak orang? Apa yang sebenarnya terjadi?. Pertanyaan itu senantiasa melekat pada pikirannya.
            “Ibu… ibu…” berusaha mencari sosok Ibunya.
            BUK…
 “Aduh!”
            “Ayah…” Tubuh Zai menabrak seseorang yang telah dikenalnya.
            Senyuman ayah membuat hati Zai sedikit tenang. Namun,lagi-lagi yang nampak adalah wajah yang berembun. Ditatapnya wajah Ayah. Bingung. Rasa itu lagi-lagi muncul.
            Ayah Zai duduk berlutut dihadapan Zai. Sembari memegang kedua pundak Zai. Menatap wajah Zai yang begitu lugu membuat Ayah Zai tak kuasa menahan kesedihannya.
            “Ayah… kenapa banyak orang dirumah kita?” Tanya Zai dengan wajah yang memelas karena faktor lelah,serta bingung yang tak berkesudahan. Namun dia mengerti bahwa apabila menginginkan sebuah penjelasan dari seseorang haruslah bersabar.
            Ayah membisu. Sesekali memeluk Zai.
            “Ayah….” desak Zai.
            “Iya Sayang.” Suara Ayah mulai terdengar parau.
            “Kenapa banyak orang dirumah kita? Terus Ayah kenapa?” Pertanyaan Zai bertubi-tubi terlontar kepada ayahnya. Namun Ayah tetap saja tak sanggup untuk menjawabnya.
            “Ayah … jawab pertanyaan Zai Yah!” Lagi-lagi Zai mendesak.
            “Sayang….” Dipeluk erat  tubuh Zai. Dan berusaha menenangkan diri.
            “Mana Ibu… Yah?” tanya Zai.
            DUP … Jantung Ayah berdetak lebih kencang. Membisu.
            Sapa itu,Yah?” telunjuk Zai mengarah pada seseorang yang terbalut kain jarik .
            Kini perasaan Zai benar-benar kacau. Pertama, ibu yang tak kunjung ditemukan. Kedua, Ayah dan Tante Mai yang membisu. Ketiga, betapa banyak orang yang memadati rumah kecilnya itu. Dan betapa rumahnya dipenuhi oleh embun-embun yang berasal dari orang-orang itu.
            Wisss…. Dengan lincah Zai berlalu dari dekapan Ayahnya menuju seseorang yang berada di atas kasur kecil dan tertutup kain jarik.
            “Zai, ayo!” Suara Ian membuat tubuh Zai sedikit terangkat. Jari-jemari Ian menyelip serta menarik Zai. Ian hendak  menghalangi Zai untuk mengintip siapa yang berada di balik kain itu.
            Dihempaskannnya tangan Ian. Dan sejenak meliat keberadaan Ian.
            “Tunggu sebentar Ian… sa masih penasaran.”
            “Jangan, Zai!”
            “Kenapa?” Kening Zai berkerut.
            “Ka-ka-karna” Ian mulai gugup menjawab pertanyaan Zai.
            “Karna apa? Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan?”Zai berusaha mendesaknya.
            “Ian benar Nak … lebih baik kamu bermain saja.” Suara ayah bergema digendang telinga Zai.
            “Tapi kenapa? Kenapa? Kenapa kalian semua jadi aneh?”
            “Pokoknya Zai tidak mau main,” lanjut Zai.
            Zai. Dengan pendiriannya tetap melangkah namun tertatih menuju sosok yang dari awal menarik perhatiannya. Ayah dan Ian berusaha mencegah namun Zai lebih berkeras untuk tetap dapat melihatnya.
            “Zai…” teriak Ayah.
            Dibukanya tutupan itu.
            “Aaaaaaaaaaa ti…  ti… tidaaaaaaaaaak… ibuuuuuuuuuuuu…”Zai menjerit histeris. Seketika hujan semakin deras mengguyur kota palu dan wajah Zai. Perasaan Zai kini benar-benar tak terkendali. Zai mengamuk, dengan menangis sejadi-jadinya. Sedih. Geram. Lemas. Perasaan bercampur.Digoyangnya tubuh dingin milik wanita paruh baya itu. Tak percaya. Lemas.
            “Zai…” tangan ayah memegang pundak Zai. Berusaha menenangannya.
            “Dengar ayah…” sambung ayah.
            Bibir Zai membisu. Yang hanya dapat dilakukannya adalah menangis.
            BRUK… Zai  terjatuh.
            “Anak ayah harus kuat” ujar Ayah, membari menopang tubuh Zai, yang berada tepat disamping  tubuh dingin milik Ibunya itu.
            “Ta-ta-tapi  kenapa tidak ada yang mau kasi tau Zai?” tanya Zai lemas.
            “Kami takut Zai akan syok mendengarnya”
            Zai hanya membungkam seribu kata.
            “Zai… dengar ayah baik-baik yah… semua orang di dunia ini pasti akan mengalami hal ini. Jadi, Zai harus kuat” lnjut ayah berusaha menenangkan anak semata wayangnya itu.
            Pandangan Zai mengabur. Pinsan.
            “Saras… Saras Azzatunnuha…!” teriakan ibu Ros menggema.
            “Saras… bangun Ras…” Sani berusaha membangunkannya.
            Sani . Teman sebangku sekaligus sahabat Zai. Saras merupakan nama panggilan Zai ketika berada di sekolah. Gadis mungil itu kini telah berubah menjadi sosok remaja setingkat SMA dengan pakaian putih abu-abunya.
            Dengan mata yang masih memerah Zai berusaha menyadarkan dirinya yang masih lemas akibat mimpi masa lalunya, yang menguras tenaga serta emosi. Sejak meninggalnya sang Ibu tercinta, sering Zai bermimpi tentang kejadian dramatis itu. Dimana Ayah,Tante Mai, serta teman kecilnya ,Ian berusaha menyembunyaikan kejadian yang harus diketahuinya dengan segera. Dan karena itulah Zai menjadi sangat fobia dengan yang namanya kematian. Meski ia faham bahwa setiap manusia di dunia ini pasti akan mengalami yang namanya kematian. Namun  menurutnya kebohongan yang dilakukan oleh orang-orang terdekatnya itu dapat menggoreskan luka dan trauma yang mendalam. Yang seharusnya bila tidak disimpan, kejadian itu akan menjadi hal yang biasa ,namun kini hal itu menjadi hantu dikehidupan Zai yang siap menerkam siapa saja yang dicintainya.
            “Kenapa kamu?” tanya Ibu Ros. Guru Matematika yang tersohor dengan kegalakannya.
            Hum… ma-ma-ma’af, bu … se-se-semalam saya bergadang bu,” ujar Zai membela diri.
            “Sebaiknya kamu lanjutkan tidurmu di depan. Sambil menganggat kaki kanan tentunya.” Sembari menunjuk kearah depan.
            “Saras… Saras… bisa-bisanya tidur watu  pelajarannya Ibu Ros” bisik Sani sembari menggelengkan kepala kearah Zai yang hendak maju kedepan. Zai hanya mempersembahkan senyum indah kepada sahabatnya itu.

THE END

CATATAN :
Sapa : siapa
Sa        : Saya(dialeg Sulawesi tengah)
Bacari : mencari (dialeg Sulawesi tengah)        

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar