Gambar Ilustrasi |
Kaki ini terus melangkah, menusuri jalan setapak yang dipenuhi dengan jejak hujan yang dari tadi pagi menguyur kecamatan Toili. Nampak seorang gadis kecil sedang duduk berlindung dibawah pohon ketapang depan rumah nenek. Dari wajah mungil itu terpancar sebuah kegelisahan. Mata bening itu menatapi jualan yang berada dipangkuannya. Jualan itu diletakkan di atas tempayan kemudian ditutupnya menggunakan daun pisang muda. Kucoba mendekatinya, lalu duduk tepat disamping tempat duduknya.
“Rita kenapa? Bagimana jualannya,
apa sudah habis?” tanyaku ,sembari merangkulkan tangan kiriku kepundaknya.
Sedangkan tangan kananku membuka sedikit tutup jualan itu agar aku dapat
mengintip kedalam. Sekilas nampak beberapa gorengan basah akibat terendam air.
Kutatap kedua pasang mata bening yang berada pada wajah mungil itu. Kelopak
mata Rita membengkak menahan air yang mulai menetes satu demi satu. Mungkinkah
hal ini yang merenggut keceriaan dari wajah gadis mungil ini?. Mungkinkah dia
takut akan dimarahi dan dipukuli lagi oleh ibunya ,ketika ibunya tau bahwa
jualan Rita tidak habis terjual?.
Tak kudengar sepatah katapun keluar dari bibir gadis itu. Yang terdengar hanyalah isak tangis yang berusaha ditahannya.
Tak kudengar sepatah katapun keluar dari bibir gadis itu. Yang terdengar hanyalah isak tangis yang berusaha ditahannya.
“Rita takut dimarah ibu?” tanyaku.
Lagi – lagi tak ada jawaban.
Kepalanya hanya mengangguk, membenarkan perkataanku. Kini aliran air itu kian
deras. Rita menundukkan wajahnya. Kembali kutatap mata bening itu. Lebam. Dup….
Seketika jantungku berdetak cukup kencang. Benarkah ada orang tua setega itu?.
“Rita mau tetap sekolah kak”suara
Rita memecah lamunan kecilku
Akhirnya ia membiarkan pita
suaranya mengeluarkan sesuatu yang dipendamnya sejak tadi. Isak tangisnya mulai
terdengar lebih kencang. Seketika bibirku kaku seperti tertimpa beban
berton-ton beratnya. Hanya senyuman yang dapat kuberikan.
“Rita tidak mau pulang kak…”
Pakian basah itu membuat tubuh Rita
bergetar menahan dingin.
“Rita takut dimarah ibu kak”
Lagi-lagi aku tak dapat
mengeluarkan argument apapun. Yang dapat ku lakukan hanyalah memandanginya. Aku
jadi teringat beberapa hari lalu ketika Rita mengantarkan jualannya kerumahku, yang
berjarak tak jauh dari rumahnya, dan setelah ku Tanya, tenyata jualan Rita belum
juga habis terjual, padahal fajar mulai menyembunyikan wajahnya. Beberapa jam
kemudian setelah Rita pulang kerumahnya , ku dengar jerit piluh menahan sakit
dari suara gadis mungil itu. Serta beberapa kali terdengar teriakan membentak
seperti suara orang yang sudah dewasa. Hal itu sering terdengar ditelingaku
setiap kali jualan gadis mungil ini tidak habis terjual,
Ingatanku kembali terputar
mundur. Ketika ayah Rita masih bertanggung jawab dan masih tinggal bersama
mereka. Rita tak pernah merasakan beratnya kehidupan seperti saat ini. Dan
semenjak saat itulah ibu gadis mungil ini mengalami gangguan mental akibat
beban hidup yang harus ditanggungnya sendiri.
Kuelus halus kepalanya yang sedari
tadi menunduk.
“Berapa semua harga gorengan yang
Rita punya?”tanyaku.
Gadis mungil ini memberanikan
diri untuk mengangkat wajah manisnya dan menatapku hangat. Pasti ada pelangi
sesudah hujan. Hal itulah yang kini tersirat pada wajah gadis mungil ini.
“Dua puluh ribu kak”
Kurogoh kantung celanaku. Dan mengambil
uang dua puluh ribuan.
“Rita mau membungkuskannya untuk
kakak?”
Ia menganggukkan kepalanya tanpa
bertanya apapun. Dimasukkannya semua gorengannya itu kedalam kantung pelastik
lalu disodorkannya kepadaku.
“Terimakasih kak” ujarnya sembari
memberikan senyum hangatnya.dan mengambil uang yang kusodorkan kepadanya.
“Memangnya cita-cita Rita apa?”
tanyaku, berusaha melepas kesedihannya.
“Jadi guru kak”
“Kenapa Rita mau jadi
guru?”tanyaku penasaran.
“Rita ingin nantinya ketika Rita
sudah menjadi guru, Rita ingin menanamkan kepada anak murid Rita supaya kalau
sudah menjadi orang besar tidak memakan uang Rakyat miskin. Supaya nantinya
anak-anak yang kurang mampu seperti Rita saat ini bisa terus bersekolah, tanpa
harus merasakan kepanasan,kedinginan dan sesekali merasaan dipukul seperti yang
Rita sedang rasakan sekarang kak”. Mata itu mengobarkan semangat yang membara.
Tak kusangka gadis lugu ini memiliki cita-cita yang begitu besar.
“Memang Rita semester kemarin
dapat peringkat berapa?”
“Satu lagi dong kak…” senyum itu
kembali muncul kepermukaan setelah beberapa saat menghilang.
“Bagus itu. Tapi Rita tidak boleh
cepat puas karna bisa saja kalau Rita sudah jarang belajar , peringkat Rita itu
bisa diambil orang loh….” kuberikan senyum terindahku padanya.
Dia mengganggukkan kepalanya
tanda mengerti.
Akan tetapi seketika senyum indah
yang telah muncul tadi kini berganti menjadi wajah muram.
“Rita kenapa?” tanyaku heran.
“Sekarang Rita sudah kelas 3 SMP
kak. Terus sebentar lagi sudah harus masuk SMA sedangkan uang tabungan Rita
masih sedikit. Dan katanya ibu, Rita tidak usah lanjut SMA. Tapi kak ,katanya
orang-orang kalau Rita tidak SMA berarti Rita tidak bisa jadi guru ya…kak”
Aku hanya bisa megangguk.
“Hum…tapi Rita ingin jadi guru
kak” sambungnya lagi.
“Rita sayang dengar kakak ya…dik,
semua itu memang sudah ditakdirkan oleh Allah, tapi kalau kita tidak berusaha
maka Allah tidak akan memberikannya pada kita. Jadi, yang terpenting sekarang
adalah bagimana usaha Rita untuk bersekolah. Masalah hasil akhirnya itu biar
Allah yang menentukan”. Jelasku.Rita hanya menganggukan kepala tanda mengerti.
“ Jadi, sekarang apa yang harus
Rita lakukan?” tanyaku lagi mempertegas.
“Berusaha….” Sembari tersenyum
dan berteriak.
Semangatnya itu kusambut dengan
senyum terhangat.
“Rita pulang dulu ya…kak”
Ku anggukkan kepalaku.
Dilambaikannya tangan kecil itu
kemudian berlalu begitu cepat.
***
Sinar mentari menembus ventilasi
kamarku. Harum masakan telah tercium dari rumah gadis kecil itu. Aku berusaha
meraih handpone yang berada disamping bantal tempat tidurku. “Jam 4 lewat 46
menit” gumamku dalam hati. Ku angkat tubuh ini yang masih terasa malas untuk
menunaikan kewajiban sebagai seorang hamba.
Pukul 06:00, terdengar suara teriakan
yang keluar dari bibir mungil milik gadis kecil itu yang sedang menjajakan
gorengannya. Dengan pakaian seragan SMP lengkap gadis kecil itu tak sedikitpun memiliki perasaan malu ketika bertemu dengan
teman-teman sebayanya karna ia menjual gorengan. Bahkan gadis itu merasa bangga
karena di umurnya yang masih semuda ini dia sudah tidak bergantung lagi pada
orang tuanya. Bahkan dari penghasilannya setiap hari dia bisa menghidupi ibu
dan kedua adiknya yang belum bersekolah, bahkan ia telah bisa menabung untuk
uang masuk SMAnya kelak.
“Gorengan…gorengan…gorengannya bu…”
Ku lihat gadis mungil itu dari
jendela depan rumahku. Dengan semangatnya ia menjajakan gorengan hasil produksi
ibunya sendiri.
Pandangan itu seketika mengarah
kepadaku dan tersenyum manis.
“Rita sini dulu” teriakku memanggil
Rita yang berada tepat didepan rumahku.
Seperti biasanya ia hanya
mengangguk. Lalu menghampiriku. Dengan membawa tas rengsel dipunggungnya dan
tempayan yang berisi gorengan di depan tubuhnya.
“Rita hari ini bawa gorengan apa
saja?”tanyaku sembari membantunya menurunkan tempayan itu.
“Ada bakwan, ada tahu isi,ada pisang
goreng, ada ubi goreng. Kakak mau beli yang apa?” sembari membuka tutup
tempayan miliknya.
“Wah hari ini gorengannya lengkap
yah…. Kakak beli lima ribu untuk setiap
gorengan”
Lagi-lagi ia hanya mengangguk. Dan
memasukkan pesananku itu kedalam kantung pelastik miliknya.
Melihat cobaan yang diberikan
kepada Allah begitu besar, sesungguhnya dia sedang menjalani sebuah pendidikan
yang diberikan Allah kepadanya agar dia dapat naik kelas dan nantinya menjadi
orang yang sangat kuat ketika diberikan ujian yang lebih hebat lagi dari pada
yang dia hadapi saat ini.
Sungguh Rita merupakan salah satu dari sejumlah anak
yang kurang beruntung namun memiliki semangat yang tinggi untuk tetap bertahan
dalam keadaan yang begitu sulit.
“Ini kak ,semuanya dua puluh ribu kak” ujarnya
sambil menyodorkan kantung pelastik yang berisi orengan panas itu kepadaku.
“Makasih ya...ini uangnya. Dan ini
uang ,untuk uang jajan Rita”ku sodorkan uang dua puluh ribuan satu lembar dan
uang luma ribuan untuk uang jajannya.
Diambilnya uang yang kusodorkan
sembari mangangguk.
“Rita berangkat dulu ya…kak, Rita
sudah hampir terlambat nih kak. Makasih ya…” kemudian diciumnya punggung
tanganku dan berlalu dengan berlari kecil.
“Jangan lari-lari Rita…nanti jatuh”.
Teriakku khawatir.
Dibalikkannya tubuh kecil itu.
Mengangguk. Dan memberiakan senyum indahnya.
0 komentar:
Posting Komentar